Harmony Clean Flat Responsive WordPress Blog Theme

“KEJUJURAN” SEBAGAI BARANG LANGKA MILIK MINORITAS

27.6.11 Unknown 0 Comments Category : , , ,

Oleh Dr. H. Mad'Ali, M.A. (Dosen FPBS, FPEB, dan SPs UPI Bandung)

Dalam diskusi Islam Senin malam, 20 Juni 2011, di Masjid al-Furqan UPI, muncul sebuah pertanyaan menarik: bagaimana pendidikan menyikapi fenomena kejujuran yang ditampilkan oleh seorang siswa SD yang sedang mengikuti Ujian Nasional, lalu diminta oleh guru pengawasnya untuk memberikan hasil jawabannya kepada teman-temannya, dan anak itu menolaknya. Dia melaporkan kepada orang tuanya, orang tua melapor kepada pihak berwajib, yang berbuntut pada pemecatan bebarapa orang guru yang terlibat, dan masyarakat mengusir keluarga anak yang jujur itu. Tampaknya sekarang “kejujuran” menjadi milik minoritas dan menjadi barang langka di negeri ini.

Masalah dalam disukusi tersebut tampaknya cukup berat untuk dijawab. Dalam diskusi itu muncul berbagai jawaban, di antaranya adalah:
(1) karena system pendidikan yang rusak, sehingga perlu segera dibenahi,
(2) karena system evaluasi yang masih lemah, sehingga perlu system evaluasi yang benar-benar jujur,
(3) karena orientasi pendidikan yang lebih materialis, melupakan nilai-nilai luhur ilahiyyah, sehingga para pendidik lupa akan kedudukannya sebagai makhluk Allah SWT,yang harus bertanggung jawab di hadapan-Nya kelak. Tentu masih banyak lagi jawaban lainnya.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap jawaban-jawaban diskusi itu, yang jelas potret pendidikan kita sedang mengalami masalah besar, terutama dalam hal penanaman sikap “jujur” pada diri anak didik, seakan mereka mejadi korban kepentingan politik yang lebih mengedapkan upaya menyelamatkan citra sekolah, kedudukan jabatan pemangku kekuasaan, dan lain sebagainya, yang keseluruhannya tidak berkaitan sama sekali dengan kualitas pendidikan itu sendiri. Jika hal ini dibiarkan, kita khawatir ke depan wajah dunia pendidikan semakin kelam, dan fatalnya akan terlahir anak didik yang sudah terbiasa berada dalam iklim kecurangan yang berimplikasi kepada hancurnya moralitas bangsa, hilangnya rasa malu dan rusaknya sendi-sendi kehidupan. Sebagai orang beriman sepatutnya kita bermuhasabah terus menerus. Dalam konteks ini, penulis mencoba mengajak pembaca untuk mencermati hal-hal berikut ini:

1. Kejujuran menunaikan amanah adalah tugas terberat manusia
Allah SWT membuat perumpamaan dalam al-Qur’an, surat al-Ahzab: 72, bahwa Allah telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya menolak, khawatir tidak sanggup menunaikannya, tetapi dengan segera amanat itu diambil oleh manusia. Betapa zalim dan bodohnya manusia itu, kata Allah SWT. Perumpamaan ini dalam Tafsir al-Azhar, oleh Dr. Hamka dijelaskan bahwasanya hanya manusialah yang memiliki potensi sanggup menunaikan amanah itu, yaitu menjadi khalifah Allah di muka bumi ini. Dengan Allah mengumapakan makhluk-Nya yang hebat-hebat, tapi tidak sanggup menunaikannya, ini menunjukkan bahwa kejujuran menunakan amanah itu amat berat jika tidak dilandasi oleh keimanan kepada Allah SWT. Dan manusia yang sanggup menunaikannya berarti manusia yang amat mulia di sisi-Nya melebih derajat makhluk-makhluk lainnya. Realitasnya, manusia itu senang menerima amanah-amanah dari orang lain, bahkan berebut untuk menerimanya. Coba perhatikan, betapa para calon pemimpin mengumbar janji ketika menjelang pemilihan agar dirinya diserahi amanat memimpin, tetapi anehnya setelah menjadi pemimpin, paling suka juga mengkhianati amanah-amanah itu. Maka pantaslah kalau manusia semacam ini oleh Allah dianggap bodoh dan zalim. Karena itu, seberat apapun manah itu, harus dijalankan oleh si penerimanya, karena itu amanat dari Allah.

2. Lenyapnya kejujuran, mebangkrutkan bangsa dan negara
Kejujuran adalah harta berharga yang berlaku di mana-mana. Jika kejujuran tidak ada, maka suatu masyarakat akan mengalami kehancuran. Hal ini terungkap dalam sabda Rasulllah SAW, bahwa kelak aka ada orang-orang ” bodoh” (tidak layak, tidak berkualifikasi) menjadi pemimpin. Maka ketika amanah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya. Hadits ini mendorong kepada orang yang menerima amanah untuk jujur menjalankannya, sebab pengkhianatan yang dilakukannya akan berdampak besar merugikan orang lain. Banyak bank-bank yang bangkrut karena ketidak- jujuran pengelolanya. Maka tidak mustahil bangsa dan Negara ini pun akan bangkrut, jika para pemimpinnya, para pengelolalanya, para pegawainya bersekongkol melakukan pengkhianatan akan jabatannya.

3. Pendidikan bertanggung jawab membangun “kejujuran”
Persoalan sikap jujur ini harus dibangun sejak dini pada anak didik, di rumah, di sekolah dan di masyarakat. Perananan pendidik sangat besar untuk ini. Ini mudah diucapkan, tetapi susah dilaksanakan jika tidak melalui pembiasaan. Lebih berat lagi, kalau setiap pendidik tidak berkemauan keras menanamkan kejujuran ini pada diri anak-anak didiknya. Ini berarti kegagalan pendidikan. Untuk itu, penulis mengajak diri dan pembaca untuk merenungi misi pendidika Nabi SAW dalam surat al-Jum’ah, ayat 2, bahwa tugas pendidik sejalan dengan tugas nabi, yaitu: tilawah ayat (membaca ayat Allah), tazkiyah (menumbuhkembangkan potensi dan menghilangkan kekeliruan-kekliruan), dan ta’lim kitab wa hikmah (mengajarkan kitab dan hikmah). Ayat ini menegaskan bahwa nilai-nilai moral yang harus diajarkan guru harus bersumber kepada kebenaran ayat-ayat Allah, yang Maha Tahu mengatur manusia. Nilai-nilai Ayat-ayat itu harus diinternalisasikan pada siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan tazkiyah, yakni membangun kessadaran anak didik untuk mau menjalankannya. Di sinilah ada reward bagi anak yang taat, dan ada sangsi bagi yang melanggar. Pendidik dituntut untuk memberikan keteladanan, dan menekankan pembiasaan pada mereka. Untuk memudahkan pelaksanaannya, maka nilai-nilai pada ayat-ayat al-kitab itu harus diturunkan dalam bentuk cara-cara yang logis, sistematis dan praktis untuk dijalankan oleh anak-anak didik. Inilah yang disebut ta’lim kitab wa hikmah (mengajarkan nilai-nilai ayat-ayat al-kitab dan cara-cara pelaksanaannya, seperti Rasulullah SAW mengajarkan juklak pelaksanaan ayat-ayat dengan hadits-haditsnya). Dengan demikian, sains dan teknologi harus dalam konteks hikmah yang bersumber dari nilai-nilai ayat-ayat al-kitab itu.

4. “Tauhid” menjadi solusi efektif membangun “kejujuran” pada anak didik
Ini berkaitan dengan misi Nabi SAW pada poin 3 tersebut, terutama pada pendekatan ta’lim al-kitab wa al-hikmah. JIka al-hikmah diartikan sebagai ilmu-ilmu Alllah yang berupa sains dan teknologi, seperti yang ditegaskan oleh Dr. Majid Arsan al-Kilani (seorang pakar pendidikan Islam di dunia Arab dan Islam), dan merupakan konsekwensi dari kebutuhan menjalankan ayat-ayat al-kitab, maka hendaknya segenap pembelajaran mata pelajaran apapun harus didasarkan pada ayat-ayat Allah, sehingga terbentuk pada anak didik pemikiran bahwa belajar apapun dia, maka sesungguhnya dia sedang belajar ayat-ayat Allah. Hal ini diharapkan akan berimplikasi pada upaya mencari dan menjalankan ilmu-ilmu itu semata-mata dalam kerangka tauhid (ketaatan dan kepasrahan hanya) kepada Allah SWT. Dengan begitu, anak didik berupaya untuk jujur dalam mencarinya, dan percaya diri, karena hanya bergantung kepada Allah SWT. Demikian pula guru akan bertanggung jawab mengajar secara profesional, berkualitas, dan penuh ketulusan, sebab dasarnya tauhid kepada Allah.

Kesimpulannya, adalah bahwa setiap kita harus meyakini bahwa “kejujuran” adalah amanah Allah, dan kita harus terus menerus berupaya menjalankannya, sekalipun beresiko dikucillkan oleh orang banyak yang cenderung tidak menyukainya, karena kita merasa ada Allah SWT yang mengawasi dan akan meminta tanggung jawab kelak dihadapan-Nya. Dia tidak akan menyia-nyiakan balasan bagi orang-orang yang jujur baik di dunia maupun di akhirat kelak. Semmoga Allah SWT tetap membimbing kita dengan hidayah dan taufiq-Nya agar istiqomah dalam jalannya hingga akhir hayat kita. Amien ya Rabbal ‘alamin.



RELATED POSTS

0 komentar